Kamis, 26 Mei 2011

Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan

Seratus Buku Sastra Indonesia_HITAM
Editor: An. Ismanto
Penulis: An. Ismanto, Anna Elfira, AR Fiana, As’adi Muhammad, Burhan Fanani, FF Armadita, Fairuzul Mumtaz, Lukmanul Hakim, Minan Nuri Rahman, Mindiptono Akbar, M. Fahmi Amrulloh, Mujibur Rohman, Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Ridwan Munawwar, Wahmuji
Penerbit: I:BOEKOE (LIMITED EDITION)
Tebal: 1001 hlm
Ukuran: 15 x 24 cm (hard cover)
ISBN: 978-979-15093-8-1
Harga: Rp 400.000
Buku ini tidak bermaksud mengajukan suatu daftar ”buku-buku terbaik” ataupun ”buku-buku terpenting”. Tujuan utama buku ini adalah untuk menemui buku-buku karya sastra yang punya pengaruh besar dalam membangun pilar-pilar utama Pax Literaria Indonesia.
Nyatanya, pengaruh semacam itu bukan hanya akan terasa di lapangan bahasa dan sastra belaka. Ada buku-buku yang memang hanya berpengaruh di lapangan itu saja tanpa diketahui khalayak yang lebih luas, tetapi lebih banyak lagi buku-buku yang pengaruhnya meloncati batas lapangan itu dan memasuki lapangan kemasyarakatan umum.
Sebagian besar dari buku-buku itu ditolak dengan beberapa ukuran, yaitu:
Pertama, tentu saja buku itu adalah buku karya sastra—dalam pengertian yang paling luas yang artinya akan mencakup buku-buku sajak, novel, esei, catatan perjalanan, biografi, novelet, cerita pendek, lakon/drama, fiksi dan sebagainya.
Kedua, ia harus ”menggoncang” kesusastraan Indonesia. ”Goncangan” itu dapat timbul akibat daya yang kokoh yang dimilikinya sebagai karya sastra.
Di sini diasumsikan bahwa sebuah karya sastra memiliki strukturnya sendiri yang komplet dan self-sufficient, sehingga ia dapat berdiri sendirian dan menjumpai pembaca, lantas membikin ”goncangan nurani” si pembaca.
Dengan demikian, ia sendirian harus mampu bertahan di hadapan pisau ananlisis kritikus sastra dan pakar kesusatraan yang credible. Selain itu ia juga harus mampu memancing pembicaraan atau perdebatan yang luas di kalangan kesusastraan dan boleh jadi juga di kalangan masyarakat yang lebih luas.
Ketiga, buku itu tidak akan disisihkan bila memberikan pengaruh juga terhadap situasi kemasyarakatan secara umum, baik secara langsung maupun tidak, dengan dua tolak ukur:
Kesatu, buku itu masuk dalam sejarah sastra ”resmi”, artinya masuk ke dalam kurikulum pengajaran bahasa dan sastra Indonesia yang diajarkan di sekolah. Dengan tolak ukur ini maka semua karya yang tercantum dalam buku pelajaran bahasa Indonesia akan masuk dalam daftar.
Tetapi, akan diutamakan buku-buku yang memiliki ”alamat” dalam kehidupan sehari-hari, seperti misalnya Sitti Nurbaya yang sering dirujuk orang ketika berbicara tentang kawin paksa.
Kedua, buku itu punya pengaruh yang nyata terhadap atau dalam kehidupan masyarakat walaupun tidak ”diakui” oleh kurikulum resmi, misalnya diminati masyarakat sehingga laris dalam penjualan atau membuka perspektif ”yang lain” dalam memandang isi ceritanya.
Keseratus buku sastra dalam buku ini disajikan secara urut berdasarkan tahun, mulai dari yang tertua (1919) sampai yang paling muda (2005). Dan ditulis oleh para penulis muda yang rata-rata berumur 25 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar